Pengalaman ini membuat aku berpikir lebih ketika ingin
berkata. Terlebih dalam menahan emosi. Mungkin ini hal yang wajar saja bagiku
karena hari ini ulangan Matematika. Hal yang membuat saya lebih serius sampai
semua candaanku anggap serius. Saat itu juga aku masih SMP yang jelas masih
labil terutama hal emosi.
Saat
di kelas aku termenung melihat halaman parkir di luar jendela tak
kuhiraukan teman sebelahku dan kedua
teman kami di depan. Pikiranku masih memikirkan itu peristiwa dimana aku
menyindirnya perempuan itu. Sampai kapan ini terus berlanjut memikirkan kata
yang saat ini mudah untuk diucapkan, tapi entah kemana dia sekarang. Rasa sesal
itu baru terasa memang telat tapi membebani kepalaku. Tampa kusadiri di jendela
kulihat guru yang memfotoku saat aku melamun. Namun namamu saja aku tak tau bagaimana aku mencarimu. Satu hal yang inginku katakan Maafin gw udah ngehina lu, gw terlalu emosi, jadi tolong ma'afin, ya.
"SO, KEEP YOUR MOUNTH AND KEEP CALM"
Saat mengerjakan soal yang tinggal 3 atau 4 lagi dan
waktu tinggal 10 menit. Aku masih melirik soal yang salah karena aku
mengerjakan soal dengan bolpoin dari tidak memiliki tip-x aku meminjam ke
temanku yang berada di belakang. Sebenarnya temanku mengizinkan ku meminjamnya,
tetapi perempuan di sebelahnya menghalang-halangi. Tentu aku mulai naik pitam
saat pengawas pergi aku menghampirinya.
“Kenapa?” tanyanya ketika aku
menghampirinya dengan tersenyum dengan senyuman manis namun saat itu ku pikir
adalah senyuman iblis. “Kenapa?” pakai senyum-senyum segala lagi, PUNYA DOSA
NGGAK?” tanyaku dengan emosi. “Nggak apa-apa, lucu aja liat muka lu marah kayak
gitu” sambil mempermanis senyumnya dengan lesung pipitnya itu seharusnya semua
senang tapi aku masih termakan emosi. “Kenapa tadi pake acara ngalangin tip-x
kaya tadi.” tanyaku sambil menunjuk” wajahnya. “Yee, salah sendiri, makanya
jadi cowok modal dikit kali,” jawabnya dengan kasar dan menempis tanganku “HEY
BERAPA SIH HARGA TIP-X? MURAHKAN? KALO PERLU HARGA DIRI LU GUE BELI!!!” aku
membentaknya tak kuat menahan emosi. Kami berdua tak menyadari kalau kita
berdua telah menjadi pusat perhatian. Beberapa orang menatapku benci walau ada
yang menahan tawa sementara orang yang kusindir menatapku nanar untuk beberapa
saat dia menatapku dalam-dalam, “LU, JAHAT” dia berteriak kecil sementara
pengawas yang datang di depan pintu melihat bingung kondisi kelas. Perempuan
itu mengambil soal dan berlalu di depanku sempat terdengar dia terisak, “Anak,
aneh” gumamku dalam hati.
Keesokan harinya tidak banyak yang membicarakan tentang
hal itu. Aku sendiri tak peduli dan orang yang ku sindir kemarin tampak duduk
sendiri di bangkunya. Aku sendiri lebih memikirkan nasibku remidi matematika
satu hal yang membuat “ngenes” karena seolah usaha tak ada gunanya.
Pada jam istirahat aku dipanggil oleh guru di ruang BP.
Aku tidak pernah mengambil pusing karena ku pikir paling masalah temanku, sekaligus
tetangga, sekaligus saudara atau tepatnya bebanku di sekolah. Bayangkan saja
berapa kali aku jadi tukang pos surat SP untuk dia.
Tapi, tampaknya apa yang kupikirkan salah. Aku terkejut
di ruangan ada pria paruh baya dengan anaknya yang tak lain perempuan yang ku
sindir kemarin. Pria itu menghampiriku dengan wajah marah matanya tampak ingin
keluar menerkamku dan “PPPLLAAAKKKK” tampara yang keras “Enak aja bilang anak
orang dibilang murahan pernah diajarin sopan santun nggak mulut, lu!!!”
bentaknya tepat di mukaku. Intinya di ruangan itu aku di maki-maki. Bukan hanya
aku, tapi guru yang meleraiku juga ikut kena omel.
Akhirnya kepala sekolah turun
tangan. Setelah berunding dengan masalah yang menurutku benar-benar sepele ini.
Akhirnya aku meminta maaf kepada bapak dan anaknya. Memang sepertinya pria
tersebut belum bisa memaafkanku dan anaknya hanya memandang dingin dengan wajah
yang datar. Aku masih tak peduli yang penting masalah ini cepat selesai sebelum
bel masuk berbunyi.
Bulan demi bulan telah berlalu dan tak terasa sudah ujian
semester 1. Saat ujian aku juga masih sekelas dengannya. Sudah biasa aku tahu
dari kakak-kakak kelasku kalau mid test dan ujian kelas sama hanya teman
sebangku yang berbeda.
Saat memasuki kelas aku melihat perempuan yang ku sindir
waktu itu. Dia membuang buku dan pergi berlalu di depanku. “Bosen gue liat muka
lu” ucapnya saat pergi meninggalkan kelas dengan wajah merengut. “Kenapa dia
belum maafin? Dasar anak aneh!” gumamku dalam hati.
Saat ujian berlangsung entah
kenapa ada sedikit perasaan bersalah. Terkesan telat memang. Tapi, itu cukup
mengganggu ku terlihat jelas dipikiranku seberapa jahatnya aku ketika itu. Kulirik
dia di sebelah tepatnya 3 baris setelah aku. Tampak dia serius mengerjakan soalnya,
sementara memori tentang itu terlihat semakin jelas.
Saat pembagian raport bayangan nilaiku sedikit turun,
waktu peringkatnya naik. Perasaan bersalah itu masih saja terus menggangguku.
“Kenapa perasaan sesal ini baru datang?” gumamku dalam hati. Menyebalkan memang
aku terus memikirkan kejadian yang beberapa bulan lalu. Meski sudah minta maaf perasaan sesal itu terus
menghantuiku.
Saat libur semester satu aku
masih memikirkannya. “Mestinya aku jalan-jalan bukan mikirin ginian” gumamku.
Saat melihat langit-langit kamar yang memutar catnya dan beberapa sarang
laba-laba yang menghiasnya. “Besok gue harus minta maaf sama cewek itu, hari
pertama masuk sekolah.”
Hari pertama masuk sekolah. Beberapa
anak terlihat capek karena liburang atau lesu karena harus berhadapan dengan
setumpuk tugas lagi. Bagiku ini kesempatan untuk melepas beban ini.
Aku memasuki kelasnya. Aku tunggu
dia sambil melihat-lihat kelas atau berbicara dengan orang yang di kelas.
Beberapa melihatku aneh, memang aku jarang ke kelas ini atau paling tidak di
depan kelas saja.
Bel
sudah berbunyi tapi aku belum melihatnya. “Apa dia tidak masuk”, pikirku.
“Hey, tumben ke kelas gue tadi ada
apa? Melamun lagi, mikirin apa sih?” ucap temanku Gesang, tapi dia bukan
seniman kebetulan sekelas dengannya. “Nggak apa-apa Sang, cuma cewek yang gue
sindir pas mid test ke mana? Dia nggak masuk?” tanyaku.
“Kenapa nanyain dia, lu naksir ya?
Alhamdulillah ternyata lu normal, ya?” BBBRRRRUUUKKK ku tinju dia tepat di
wajah memang tidak keras dan tidak berbunyi seperti itu.
“Enak aja, gue cuma minta maaf,
emangnya ke mana dia?” tanyaku penasaran.
“Dia pindah denger-denger juga
pindah rumah ikut orang tuanya” jawabnya menjelaskan.
“HAH, yang bener terus kenapa nggak
ada yang peduli kayaknya kelas lu biasa aja tadi baru di kasih tahu apa?”
tanganku kaget sekaligus penasaran.
“Nggak udah lama dia pindah tapi ya
gitu, di rumah jarang keluar, di sekolah juga jarang ngomong, pokoknya tertutup
banget! Gue liat dia ngomong juga cuma pas kejadian kemarin nggak nyangka sampe
segitunya.” Jelasnya.
Penjelasan membuatku semakin lesu,
aku memperhatikan lapangan parkir dengan
tatapan kosong. Pasti dia sakit hati. Penjelasannya semakin membuatku bersalah.
Kenapa aku sampai sejahat itu pada perempuan itu. Dia nggak salah, cuma saat
itu aku termakan emosi.
“Kenapa?” tanya Gesang padaku yang
melamun.
“Nggak apa-apa, oh ya namanya
siapa?” tanyaku penasaran
Dia melihatku geli “Kayaknya lu
naksir, sampe lupa sendiri, taukan gue males ngapalin nama cewek tanya aja yang
sama yang laen” katanya mengejek.
“Sembarangan, gue cuma minta maaf
kalo gue nanya yang laen malah jadi gosip males gue” jawabku ketus.
“Ya
udah kalau nggak mau nanya, biarin aja sampe lu mati penasaran, karena nggak
ketemu sama pujaan hati lu itu” jawabnya sambil pergi meninggalkanku yang
disusul oleh sepatuku yang terbang.